Isi Buku "Dibalik Pintu"
Seksualitas perempuan indonesia dalam Otobiografi
Karangan : SOE TJEN MARCHING
Judul Buku : Kisah Di Balik Pintu
Pada mas orde
baru, nilai – nilai budaya jawa yang menjunjung patrenalisme dan hirarki
dipertahankan oleh pemerintah. Seksualitas adalah slahs tu hal yang menjadi
perhatian di era ini, dengan alasan demi menciptakan ketertiban bangsa.
Konsentrasi perhatian dikentalkan pada perempuan, dengan alasan merekalah yang
mempunyai tugas menjaga moral keluarga dan bangsa. Seksualitas perempuan yang
“dilontarkan” di depan umum baik sengaja maupun tidak sengaja, dianggap tabu,
sensor yang begitu ketat bagi tubuh.
Menulis di
Otobiografi yang dianggap menyajikan kisah nyata manusia, tentu saja para tokoh
ini perlu mempertimbangkan stereotip atau kaidah sosial yang bisa menodai
reputasi mereka. Mereka dianggap sebagai model – model perempuan, dan karena
mereka dianggap sebgai model – model perempuan, dan karena itu kehidupan mereka
layak diabadikan. Memang, hampir semua tokoh otobiografi ini menggambarkan diri
mereka sebagai tokoh yang bermoral seksualitasnya, atau dengan menunjukkan
kesetiaan mereka terhadap satu lelaki di sepanjang hidup merek. Bahwa monogami
adalah satu – satunya pilihan dan kewajiban.
Tapi, bila
diamati dengn lebih cermt lagi, sebenarnya ada diratan seksual di dalam
beberapa otobiografi para tokoh ini. Sebagai tokoh, merek biasanya juga
dianggap “model” untuk perempuan lain, namun ternyata ada isi kemaniakan yang
bisa digali di dalam diri mereka.
Otobiografi :
para perempuan yang terhormat.
Semua tokoh
Otobiografi di dalam buku Kisah Di Balik Pintu sudah atau pernah menikah.
Jadi kegiatan seksual tidaklah tabu bagi mereka dan seharusnya mereka bisa
lebih bebas mengutarakan tentang pengalaman seksual mereka daripada perempuan
yang belum menikah ( karena sek bagi perempuan yang belum menikah dianggap
haram). Status bagi mereka sebagai “istri” membuat mereka mempunyai legimitasi
untuk membahas tentang seksualitas. Dalam bukunya Pending Emas, yang
menceritakan pengalaman herlina sewaktu ia belum menikah, herlina menekankan
bagaimana i menjaga jaral dengan para pria di sekelilingnya. Berlayar menuju
belantara papua barat, Herlina adalah satu – satunya perempuan di sana. Ia
menulis bagaiman ia menjaga “kehormatan”-nya.
Hal – hal yang
tidak diinginkan antara laki – laki dan perempuan harus dihindarkan, dengan
menjaga jarak pergaulan sehari – hari. Aku tidak boleh membuat tontonan yang
tidak lucu, menjadi penggunjingan maupun sasarn pembicaraan. (Herlina,
1985;322)
Herlina
menunjukkan bahwa ia tidak melupakan moralitas.dengan membuat batas
pergaulannya dengan pria. Walau ia adalah perempuan yang telah terbebas dari
“kodrat” dengan mengurangi laut dan langit menuju papua, dalam hal seksualits.
Herlina tiba – tiba menjadi lebih kaku dan berpegang pada batas. Dan apa yang
dianggap pantas menurut norma – norma saat itu ia bahkan begitu mengindahkan
pendapat masyrakat dengan memikirkan kemungkinan terjadi gunjungn, antara dia
dengan para lelaki tersebut.
Di dalam buku
otobiograi yang lain, Bangkit dari Dunia Sakit, herlina menggambarkan dirinya
sebagai ibu yang “Up – to – date” (Herlina, 1986;86) dengan mencoba terbuka
pada anak – anaknya bila berdiskusi tentang anak dan orang tua sangat jarangdi
indonesia pada saat itu, herlina memilih untuk embicarakan topik ini dengan
mereka. Tapi, keterbukaan ini hanyalah sebatas mengimani norma – norma yang
sudah ada. Herlina menegaskan bahwa anak – anak gadisnya harus bertanggung
jawab untuk menjaga diri mereka. Walau herlina adalah perempuan indonesia
pertama yang menjadi penerjun payung, dan juga perempuan indonesia yang
menjelanjah rimba papuaseorang diri, ia melrang anak – anak perempuannya untuk
pergi camping karena ia khawatir anak – anak gadisnya ini cenderung akan
menjadi lebih bebs dalam pergaulan dengan pria. Ia bekaca bahwa camping bisa
menciptakan “banyak peluang negatif” untuk “para remaja putri seusia kalian”
(Herlina, 1985; 91). Menjadi lebih terbuka, tidak mengubah norma seksual di
masa itu sama sekali terbuka, tidak mengubah norma seksual di masa itu sama seklai.
Herlina masih menjadi ibu yang sesuai dengan hukum orde Baru. Herlina menulis
bahwa setelah mendengar wejangan, anak – anak angkatnya telah menyadari “Betapa
mengerikan gambaran negatif dari arena berkemah”. Ia menyarankan kepada anak –
anak gadisnya supaya lebih berhati – hati, terutama karena jnis kelamin mereka
:
“kalian semua
tahu, berapa banyak tamu – tamu Ibu yang terdiri dari remaja seusia kalian,
minta perlindungan datang mengadukan perutnya sudah berisi janji. Akhirnya,
sekolah yang dikorbankan, karena tidak ada baju seragam sekolah untuk perut
buncit. Bagaimna dengan si prianya? Mereka tetap bisa bebas, karen perutnya
tidak akan pernh buncit! (Herlina, 1986 ; 92)”
Nasihat Herlina, bisa
menunjukkan adanya ketidak – adilan di antara lelaki dan perempuan, namun
bersamaan dengan itu, ia juga menimpakan tanggung jwb hanya kepada perempuan,
seolah merekalah yang patut disalahkan bila hal – hal yang tak diinginkan tidak
terjadi. Dalam otobiografi ini, herlina tidak pernah menyebut adanya pembatasan
seksual terhadap anak lelakinya. Inilah ironi itu : ia menggambarkan
keterbukaan kepada anak perempuan, namun di dalam “keterbukaan” inilah ia
membatasi mereka. Herlina tidak pernah menyebut apak anak – anak lelaki juga
ingin pergi camping atau akivitas luat lain yang mungkin bisa membawa “bahaya
seksualitas”. Namun, tidak menyebut bukannya berartu para anak lelaki ini tidak
pernah melakukan aktifitas di luar. Tiaanya diskusi akan aktivitas anak
lelakinya, adalah suatu pertanda bahwa herlina tidak begitu khawatir akan para
anak lelaki ini, karen menurutnya, mereka bisa lebih bebas.
Pada masa orde baru Keperawanan perempuan menjadi topik
yang cukup hangat di masa orde Baru Sulistina Soetomo istri dari Bung Tomo yang
di gosipkan bahwa ia sudah tidak perawan sebelum menikah dengan soetomo.
Sulistina menyiratkan ahwa ia tidak lagi perawan sama saja dengan perempuan
Murahan. Sulistina tidak mengkritik gosip ini sebagai berita yang hanya
menyampuri urusan pribadinya. Ia tidak marah karen ada orang yang membuat keperawanan
sebagai bahan gunjingan. Namun, reputasinyalah yang tiba – tiba menjadi lebih
penting dalam menanggapi hal ini. Dengan kata lain, Sulistina juga mendukung
betapa pentingnya keperawanan sebelum menikah.
Pemnatasan akan ekspresi seksualitas perempuan juga
timbul ketika ia telah menikah dengan soetomo: Sulistino menggambarkan hubungan
seksualnya dengan Soetomo hanya berkisar kepada kepuasan Soetomo. Soelistina
menuliskan bagaimana ia mencoba untuk menjadi “seorang ratu” di dalam pertemun
dan konferensi “Seorang putri” di dalam dapur, dan “Seorang Pelacur” di ranjang
(Soetomo, 1995;51). Sulistina telah menerim tugas untuk memuaskan suaminta. Ia
bahkan menulis “seorang pelacur akan berusaha memuaskan lelakinya, juga seorang
isteri harus berusaha untuk membuat suaminya puas. “(Soetom0,1995;51). Walau
sulistina beberapa kali menyebut kata pelacur di tempat tidur, ini ditunjukkan
hanya untuk sang suami. Kepuasan seksual sang suami memperbolehkan dirinya
menjadi semurah mungkin (saya tidak beranggapan bahwa pelacur itu perempuan
murahan). namun, untuk dirinya sendiri bahkan keperawanan pun dijadikan masalah
: kepuasan seksualnya sama sekali tidak disebut. Kalai pelcur dibayar untuk
berhubungan seks, pebayaran untuk istri masih tidak jelas. Tetapi, demi sang
suami, sulistina tidak keberatan. Ia bahkan mengulang dan mengamini nasihat
temannya tentang memuaskan seorang suami : “capek sedikit tidak apa tua....
asalakan tuan senang di hati.” (Soetomo, 1995 ; 51). Apa yang diraskan tidak
menjadi soal, yang penting suaminya puas.
Karena kepuasan soetomo lebih penting dari kepuasaanya
sendiri, soetomo juga dapat mengritik dan menuntut bila istrinya tidak cukup
memuaskannya. Ia ingin sulistina melayaninya tidak saja di ranjang naumn di
dapur : “kalau perempuan bisa masak, pasti suamiya tidak jajan di restoran.
Perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur.
Makanya kau harus pandai masak supaya aku betah tinggal di rumah.” (soetomo,
1995;51) sulistina bertnggung jawab atas kenikmatan sang suami baik yang orak
(dengan makanan) maupun yang anal (dengan seks). Dari apa yang diucapkan
soetomo, kalau sulistina tidak bisa memuaskan sang suami, bukan salah sang
suami bila ia mencari sumber kenikmatan lainnya. Maka soetomo juga menuntut
sulistina untuk menjaga tubuhnya supaya ia tetap langsing: “Zus rawatlah
badanmu baik – baik. Kalau sudah punya anak, jangan berhenti merawat badanmu,
agar tetap singset. Kalau menjadi gombyor aku akan mencari yang lain lho
(soetomo, 1995;53). Kesetiaan dan pengabdian seorang istri adalah keharusan,
tapi kesetiaan seorang suami tidak: ia tergantung dari istrinya dan bahkan
menjadi “tanggung jawab” ini, si lelaki bisa mempunyai pilihan lain, sedang
istrinya tidak pernyataan –pernyataan seperti ini mendukung bahwa konsep di indonesia,
lelaki bisa lebih bebas dalam seksualitasnya.
Para tokoh otobiografi ini seakan mengamini bahwa gairah
seksualitas hanya dimiliki lelaki, sedangkan perempuan adalah penyedianya.
Otobiografi yang lain sama sekali tidak membahas tentang seksualitas. Sujatin
menyebut bahwa ia [utus dua kali dengan kekasihnya (Kartowijono, 1983;41-43).
Tapi, ini dilakukkan bukan karena lasan yang menyangkut seksualitas sama
sekali, tapi karena kesibukannya di beberapa organisasi perempuan. Dalam
otobiografi ratna Djuami, kisah cinta, saang tokoh digambarkan sebagai seorang
perempuan yang jatuh cinta dan sehidup semati dengan seorang lelaki saja,
Asmara Hadi. Walaupun Rachmawati mengisahkan bahwa ia menikah dua kali,
pernikahannya yang pertama gagal karen sang suami memutuskan untuk bersama
perempuan lain (Sukarno,1984;102-3). Rachmawati tidak menyalahkan diri sendiri
atas ketidak setiaan suaminya ini, paling tidak, ia tidak mengikuti wacana
sulistina bahwa kenikmatan dan kesetiaan suami adalah tanggung jawab istri. Namun,
rachmawati juga tidak pernah membahas seksualitas di dalam oto biografinya.
Tidak semua tokoh otobiografi menyajikan diri sebagai perempuan “suci” yang tak
menunjukkan gairah seksual sama sekali. Beberapa diantara mereka, baik secara
disadari maupun tidak, menceritakan beberapa adegan yang bisa dianggap
melanggar norma.
“ seksual merupakan sesuatu yang Tabu dan tidak pantas
di pertontonkan dan di bahas di publik dan hal ini membuat para remaja semakin
mempunyai rasa ingin tahu tentang seks karena orang tua juga terlalu melrang
orang tua. Perlu diadakan adanya edukasi dan pembahasan secara terbuka agar
anak – anak remaja dapt dikendalikan. ”
SEKSUALITAS DALAM BUKU DIARI
Seksualitas
memang topik yang dianggap masih tabu untuk dibicrakan bagi kebanyakan orang,
terutama bagi perempuan. Dalam buku harian, para perempuan mendapat kesempatan
untuk lebih terbuka. Memang, gambaran yang “intim” dibandingkan dengan
otobiografi bisa disimak dalam beberapa diari yang saya dapat. Namun, seberpa
jauh kebebasan seksualitas mereka? Seberapa besar norma dan ideologi masyarakat
serta agama berpengaruh dalam gambaran seksualitas mereka?. Walau beberpa
penulis buku harian mengungkap pengalaman seksualitas mereka, masih ada
kekalutan dalam penggambaran ini. Mereka adalah makhluk yang penuh ragy bila
dihadapkan seks. Terkadang, kebisuan dan penindasan masih sering ditemukan
dalam narasi mereka. Seksualitas menjadi hal yang amat rumit. Dalam satu hal,
ia dinikmati, dibutuhkan dan dipuja ; namun dalam hal lain, ia juga dimaki dan dikutuk.
Kemauan para penulis diari untuk menjadi taat beribadah dan tunduk pada
perintah agama yang mereka yakini, sering kali dilanggar sendiri oleh karena
“panggilan” seksualitas ; hal yang biologis dan tidak bisa disangkal dalam
hidup. Inilah yang membuat mereka selalu terlibat dalam labirin wacana – pada
satu sisi mereka ingin keluar dari norma – norma, namun tanpa disadari mereka
juga masih terbelenggu dari norma itu. Seksualitas dari perempuan saleh.
MINA :Kristen Yang Relejius
Karena
keperawan dan kesucian perempuan masih dianggap penting terutama di masa orde
baru, perempuan indonesia yang belum pernah menikah secara resmi, biasanya
diharapkan untuk tidak mempunyai pengalaman seksual. Semua penulis diari ini,
kecuali Ani, belum pernah menikah secara resmi, dan kebanyakan dari mereka
menganut agama kristen dan islam yang cukup taat. Doktrin agama di indonesia
tidak dapat diragukan lagi. Telah turut menekan kebebasan seksualitas
perempuan. Untuk seorang kristen seperti mina, misalnya, hasrat seksualitasnya
sendiri dipandang sebagai hal yang menakutkan walaupun ia sudah berumur 30
tahun ketika ia mengalami hubungan yang cukup intim dengan seorang lelaki, ia
mengalami berbagai konflik batin dengan dirinya sendiri.
11/2/95
I hate my self when i came
to such self-destruction like tonight! Should have said NO to him, but i don’t
know ehy i can’t simply spell that ord. I didn’t even enjoy it! He want a bit
for tonight. But I still knew my limit. How can I Face God tomorrow? What
should I tell him? Should i pray? I’m afraid of future. I still feel the sore
on several parts-my lips and....
(aku
membenci diriku sendiri bila aku berada di dalam situasi yang menghancurkan
diri seperti malam ini. Aku seharusnya bilang TIDAK kepadanya, tapi aku tak
tahu kenapa aku tidak bisa mengatakannya. Aku bahkan tidak menikmati pengalaman
itu sama sekali! Ia melangkah agak jauh malam ini. Tapi aku masih tahu batas.
Bagaimana aku bisa menghadap tuhan besok? Apa yang harus ku bilang padanya?
Apakah aku harus berdoa? Aku takut akan masa depan. Aku masih merasa sakit di
beberapa tempat –bibirku dan...)
(MINA, 11 February 1995)
Mina
merasa tidak berdaya untuk menolak kehendak seorang lelaki, walaupun menurut
diari ini, ia tidak menikmati apa yang diperbuat lelaki tersebut. Mina harus menjaga
kehoramatannya, tetapi sang lelakilah yang seakan mempunyai lebih banyak
kontrol akan tubuh Mina, Seakan ia tidak kuasa menolak. Karena kepasrhannya dna
ketaaatan adalah sifat yang dianggap positif bagi perempuan, menyatakan “tidak”
atau menentang kehendak lelaki bisa menjadi hal yang amat sukar bagi perempuan.
Mina tidak saja harus menjaga “Kesucian” tubuhnya, ia juga harus berhadapan
dengn ketidak = mampuan menolak hasrat seksulaitasnya seorqang lelaki di
hadapannya. Rasa tak nyaman akan tubuhnya sendiri juga tersirat ketika ia
menggambarkan bagian – bagian tubuh ini, mina tidka melanjutkan dengan kalimat
yang lengkap. Ia hanya menulis bahwa ia merasa sakit di bibir, dan meninggalka
titik - titik untuk selanjutnya. Walau cuplikan dari buku hariannya memberi
alusi bahwa mereka berdua belum bersetubuh (”I STILL KNEW MY LIMIT”) dan si
lelakilah yng mempunyi iniiarif dalam interaksi ini, mina merasa amat bersalah.
Keberadaan sebuah otoritas yang selalu mengawasinya, dalam hal tuhan, telah
membuatnya ma;lu dan bahkan amat cemas. Namun, Mina mencoba menghibur diri
bahwa paling tidak ia juga dapat :”Have one, at least, with herman somestime
next week... friendly date.... A safe One.” (Berpacaran, paling tidak satu
kali, dengan herman, suatu waktu minggu depan.. pacaran yang bersahabat... yang
aman”) 28 April 1995. Keterangan ini
mengisyaratkan bahwa mina masih berharap ia dapat keluar dengan lelaki yang
sama, tanpa adanya hubungan intim. Seperti inggit yang kemudian menembus
pelanggaran seksualitasya dengan Sukarno, Mina juga mencoba menembus apa yang
dianggapnya sebagai sutu noda dengan perbuatan yang dianggap lebih pantas
(terutama dalam agamanya). Selain kedua cuplikan ini, buku hariannya tidak
menyebut lagi akan seksualitas atau hubungan intimnya. Entah ini karena memang
ia tidak berhubungan intim sama sekali, atau ia terlalu segan atau tidak meu
mencatatnya dalam diari walaupun ia pernah melakukannya.
Ida dan lilies : seksualitas perempuan muslim
Ida
dan lilies adalah muslim yang cukup taat beribadah yang dimaksud dengan taat
beribadah di sini adalah, mereka masih mencoba memenuhi sembahyang lima waktu,
berpuasa dan membaca al quran paling tidak satu bulan sekali. Ketika saya
bertemu ida, ia menekankan bahwa seks sebelum menikah adalah perbuatan dosa, dan
ia mencoba dengan sungguh – sungguh untuk mentaati perintah – perintah islam,
agamanya. Namun, di dalam dirinya, ia menuliskan mimpi erotisnya :
Prince of charming...
where do you stay? Don’t be for away from me, stay close to me, don’t make me
wait too long, stay close to me. Hold me tight, kiss me and we make love in a
whole nights, whatever you want five or six times....i’m ready.
(pangeran
tampan.. dimana kamu tinggal? Jangan jauh – jauh dariku, tetaplah dekat
denganku, jangan membuatku menunggu terlalu lama, tetaplah dekat denganku,
peganglah erat diriku, ciumlah aku dan kita bercinta sepanjang mala,
seberapapun kamu mau, lima atau enam kali.... aku akan siap ida, 15 November
1995)
Cuplikan
di atas hanyalah fantasi, dan walau ida berkata bahwa ia tidak akan
melakukannya (paling tidak, inilah yang dikatakan kepada saya), ia masih punya
keberanian untuk menggambarkan hasrat tersebut. Tidak hanya sekali, namun
berkali – kali pun, ia siap, dalam fantasi itu. Di dalam buku harian ini,
seolah Ida bisa lepas dari kesehariannya sejenak, dari lilitan norma – norma
dan agama yang diyakininya. Keyakinan itu bisa lepas dan ia bisa merayakan
tubuhnya sebentar di dalam lembaran diari. Kompleksnya gambaran seksualitas
perempuan juga dapt ditemukan dalam buku harian lilies. Seperti yang tersirat
dalam buku hariannya dan juga diakuinya kepada saya ketika kami bertemu, lilies
adalah seorang muslim yang cukup taat beribadah. Ia kuliah di sebuah
universitas islam dan ketika bertemu dengan saya, ia berkata bahwa ia selalu ingin
mentaati perintah islam. ia juga berkata bahwa bila ia keluar rumah, ia hampir
selalu memakai jilbab untuk mengingatkan dia supaya dapat mengontrol segala
nafsu ataupun keinginannya. Hanya di dalam rumah saja, ia melepas jilbab.
Namun, dalam diari ini, lilis merekam bagaimana ia jatuh cinta dengan beberapa
lelaki, termasuk pamannya sendiri :
Lilies nih gimana ya?!! Kalo nggak ketemu om
nano kangen, kalo ketemu yaa... gimana gitu! Ras ini gak tau kok bisa gini. ‘N
aku gak pengen dy. Semoga rasa ini sebatas ponakan ama om – nya dan kalo memang
bukan semoga gak berlanjut (Lilies ; 12 september 1994). Lilies dengan berani
mengakui dan bahkan merekam rasa romantisnya pada kerbatnya sendiri yang
dianggap suatu yang tabu dalam masyarakat indonesia dan bahkan berdosa dalam
mayoritas pandangan islam.
Walaupun lilies berusaha menyangkal perasaanya
pada pamannya ini beberapa kali, ia juga terus menerus menuliskannya :
Eh... kok pas ngeliat om Nano ati lilies
kayaknya gimana gitu... seeer... ih benci deh, lilies ama keadaan ini. Msa
kayak gini ama paman sendiri. Tapi lilies yakin keadaan ini Cuma karena lilies
belum aktif kuliah (Lilies, 18 September 1994)
Ia mengecam, namun juga melakukkan pembelaan,
seakan penyangkalan dan pengakuan itu berlomba – lomba dalam buku hariannya.
Lilies tidak tahu harus mengikuti yang mana. Namun, setelah itu, penggambaran
tentang pamannya menghilang. Di buku hariannya, ketertarikan pada sang paman
diganti oleh ketertarikan terhadap beberapapun pria lain :
Sekarang mulai perburuan lagi, cari yang sreg
lagi masih banyak cowok lain he ... he... walo loloes tergolong cewek – cewek
yang sulit jatuh cinta tapi gak frigit lho (Lilies, 28 Mei 1995).
Menggunakkan kata “perburuan”, Lilies melanggar
“Kodrat” persepsi perempuan yang pasif, yang menunggu dan menjadi obyek rasa
tertarik pria. Gambaran perempuan seperti inilah yang menjadi idealisme Orde
Baru : ia yang tidak mencari, yang menerima dan tidak mempertanyakan.
Penempatan dalam posisi sedemikian akan membuat banyak perempuan sukar untuk melawan.
Sebaliknya, dalam diari, Lilies memosisikan dirinya sebagai subyek yang aktif,
yang mengakui perasaanya tanpa ragu – ragu dan bahkan mencari “obyek” yang
dapat membuat rasa ini hidup. Yang menarik, ia juga mengategorikan dirinya
sendiri sebagai perempuan yang “sulit jatuh cinta”. Hal ini menunjukkan juga
bahwa ia tidak merasa mempunyai ketertarikan pada banyak lelaki sebagai hal
yang mengganggu. Ia lalu menyatakan bahwa ia tidak frigid. Dalam arti lain, ia
berada dalam skala normal – tidak terlampau banyak ataupun kurang
sensualitasnya. Dalam buku harian ini juga, Lilies menyatakan cintanya pada
seorang lelaki lain :
My
Love :Umar.
Sebenarnya lilies malu lho ama diri lilies
sendiri ngeliat tulisan di depan nama dia tuh, tapi biarin deh udah terlanjur.
(Lilies, 7 Januari 1995)
Menulis tentang perasaanya pada Umar dengan
cukup “Terbuka”, lilies segera menggambarkan perasaan malunya. Perasaan malu
biasanya muncul dari tindakan tersembunyi yang dilihat oleh orang lain. Dengan
kata lain yang tak dikenedaki. Karena buku harian ini ditulis tidak untuk
dipublikasi, lilies menjadi penonton bgi diriya sendiri. Ialah yang memandang
dirinya dan karena pandangan dirinya sendiri juga, ia merasa malu. Ketika ia
ingin mengungkapkan perasaan pada umar, ada pndangan lain yang masuk dalam
ruang pribadinya dan seolh memergoki ungkapan perasaan yang seharusnya
disembunyikan. Namun lilies juga mampu menyisihkan “pandangan lain” ini dengan
menekankan kembali apa yang ada di hatinya pada umar :”pokoknya dia harus
lilies dapatkan”. (Lilies, 20 Maret 1995). Ada kekersan dan keteguhan dalam
menyatakan perasaanya. Bahkan tersirat sebuah “perjuangan” dalam mendapatkan
para lelaki ini. Lilies bukanklah perempuan yang pasrah dalam hubungan
romntisnya dengan pria. Bahkan pada suatu bagian dalam diarinya, Lilies
menggambarkan lelaki yang ia inginkan sebagai “korban”. Lilies tidak
menunjukkan rasa hormat ataupun memuja pada lelaki, ia bahkan tiak menyiratkan
rasa ketertarikn ataupun cintanya sebagai pengabdian atau hal yang kekal, namun
sebagai obyek dari perasaan ataupun hasratnya : rasa cinta ini adalah salah
satu dari kebutuhannya sebagai perempuan atau manusia. Hubungan kasih dengan
lelaki bukanlah hal yang suci baginya. Sebaliknya, kata – kata yang digunakan
lilies mengungkapkan bagaimana penulis ini memandang hubungan romantis dengan
pria sebagai kesempatan dan kenikmatan. Ia bahkan merekam ketertarikan pada
salah satu dosennya.
“Kenapa ya akhir – akhir ini gue tiba – tiba
sering inget ama dosen J... seandainya tuh, pak dosen muda ngelirik gue juga,
wah perlu dipertimbangkan, nih! Asik khan kalo punya pacar yang future – nya
udha mapan (Lilies, 23 November 1995).
Hasratnya yang melompat pada satu pria ke pria
yang lain, dengan penggambaran yang cukup jenaka menyiratkan bahwa hubungan romantis
adalah sebuah permainan, coba – coba, bahkan mendekati judi daripada pengabdia,
kesetiaan ataupun pengorbanan. Menyebut bahwa dosennya dapat berguna untuk masa
depannya, lilies juga menyatakan bahwa dalam rasa cintaanya pada lelaki, ada
perhitungan materi. Walaupun begitu lilies masih mengutip wejangan – wejangan
kiainya yang mengharuskan dia untuk lebih memusatkan perhatian pada pelajaran
“Kata kiai : sekolah saja dulu baru ntar kalu
udah mo lulus baru cari pacar atau candidat of husband, ih kayaknya jadi tambah
tua, kiai juga bilang ntar gue ketemu ama cowok yang bener – bener cuocok ama
gue, pas umur gue 22 tahun di tahun 98 wie... lama buanget rek (Lilies 25’95).
Walaupun ida dan lilies adalah seorang muslim
yang menerima ajaran tentang pembatasan dan bahkan penghujatan kenikmatan
seksual, mereka berdua masih dapat menorehkan fantasinya tentang berbagai pria.
Namun, ungkapan mereka hanyalah terbatas dalam mimpi dan imajinasinya dan belum
sampai pada prakteknya.
Comments
Post a Comment